Peristiwa 17 Oktober 1952
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Salah satu organ yang perlu dimiliki oleh Pemerintah suatu negara
adalah Militer, yang merupakan satu kelompok orang-orang yang diorganisir
dengan disiplin untuk melakukan pertempuran, yang dibedakan dengan orang-orang
sipil. Membicarakan keterlibatan militer dalam politik khususnya peranan mereka
dalam proses pembuatan kebijakan negara, dan kiprah mereka dalam proses sosial
politik sehari-hari menimbulkan pro dan kontra.
Tak
adanya tempat kaum militer dalam sistem politik periode awal lima puluh
merupakan kelanjutan dari konflik militer sipil di tahun pertama kemerdekaan.
Konflik tersebut berawal dari Syahrir yang tak memberi tempat apapun bagi
kalangan militer untk berpartisipasi dalam pemerintahan , ketika ia menjabat
sebagai perdana menteri. Sikap anti fasisnya yang keras telah mendikte cara
pandangnya terhadap kaum militer. Yang menganggap bahwa bekas militer merupakan
mantan PETA yang bentuka dari Jepang. Sejak saat itulah militer berada di luar
pagar garis politik yang berlaku dan terpecah belah menurut ideologi dan garis
politik yang berlaku. [1]
Hal ini menumbuhkan perasaan antipati yang telah tertanam pada kaum militer
terhadap kaum sipil semakin bertambah besar. Militer tidak senang akan posisi
kuat dan kekuasaan yang dipegang sipil, karena sebagian besar dari mereka hanya
merupakan konsekuensi dari adanya RIS. Militer tidak senang dengan kepemimpinan
sipil, juga terhadap pembagian otoritas konstitusional yang menguntungkan
sipil. Perasaan militer inilah yang akan mempengauruhi hubungan sipil dan
militer pada masa Demokrasi Liberal.
Tentara
merasa punya peran dan posisi historis yang lebih kuat dalam perjuangan menuju
dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu. Pada sisi yang lain,
partai-partai yang ada kala itu relatif tidak punya pengalaman dan kesempatan
selama penjajahan Belanda untuk memperoleh kematangan melalui sejarah
perjuangan dan proses konsolidasi yang cukup. Kemudian, pada masa kemerdekaan
partai-partai tak pernah membuktikan kemampuannya untuk memerintah sendiri.
Bahkan, dengan berkoalisi sekalipun tak pernah ada partai-partai yang pernah
membuktikan diri berhasil memerintah secara langgeng. pimpinan militer sampai
pada kesimpulan bahwa harus ada sesuatu yang dilakukan untuk menghentikan manuver
para politisi sipil tersebut –yang miskin konsep namun banyak kemauan. Militer
menghendaki pembubaran parlemen. Ini suatu sikap politik. Dengan menampilkan
sikap politik seperti ini, dan bergerak untuk memperjuangkannya, tentara telah
memasuki wilayah pergulatan politik dan kekuasaan.[2]
Selain
itu juga karena adanya upaya profesionalisme Angkatan Perang yang dapat
menimbulkan persaingan sosial. Serta adanya keinginan penggantian panglima
pimpinan oleh staf di bawahnya, namun ditolak dan menyebabkan konfik intern di
dalam militer. Hingga di kelurkannya mosi tidak percaya oleh parlemen yang
menyebabkan lahirnya peristiwa 17 Oktober 1952.
2. Rumusan
Masalah
a.
Apa yang menyebabkan peristiwa 17
Oktober 1952?
b.
Bagaimana Peristiwa 17 Oktober 1952?
c.
Bagaimana dampak peristiwa 17 Oktober
1952?
3. Tujuan
Penulisan
a.
Mengetahui apa yang menyebabkan
peristiwa 17 Oktober 1952 ?
b.
Mengetahui bagaimana Peristiwa 17
Oktober 1952?
c.
Mengetahu bagaimana dampak peristiwa 17
Oktober 1952?
4. Manfaat
Penulisan
a.
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai peristiwa 17 Oktober 1952
b.
Dapat digunakan sebagai referensi dalam
penulisan sejarah
c.
Dapat memberi tambahan literasi dalam
penulisan sejarah Indonesia
BAB II
PEMBAHSAN
A
Sebab
Peristiwa 17 Oktober 1952 Terjadi
Peristiwa
17 Oktober 1952 merupakan salah satu peristiwa yang melibatkan Angkatan Perang
Republik Indonesia (APRI) Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dan
masyarakat sipil. Peristiwa ini berawal dari keadaan labil Indonesia
yang baru tujuh tahun merdeka karena masih menggunakan sistem demokrasi
liberal model Eropa (Belanda). Keadaan
ini diperparah dengan buruknya kondisi sosial ekonomi merebaknya praktik
korupsi di pemerintahan dan pembebasan Irian Barat yang terus tertunda.
Akhirnya hal tersebut terakumulasi dan berujung pada pertentangan dan konflik
internal antar aparatur pemerintahan Indonesia[3]
Setelah
pengakuan Kedaulatan , pimpinan Angkatan Perang khususnya Kepala Staf Angkatan
perang (KSAP) dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) bersahamengkonsolidadi dan
mamajukan TNI. Angkatan Perang akan menjadi suatu kekuatan sosial – politik
yang kompak yang dapat mengimbangi kekuasaan partai – partai politik dan
golongan politik pada umumnya. Partai partai menganggap usaha ini ancaman bagi
mereka, oleh karena itu mereka berusaha mencegahnya dengan mempengaruhi pion
plitik di Angkatan Perang. Langkah mulai diambil melalui seorang perwira Senior
Bambang Supeno.[4]
Kolonel
Bambang Supeno secara terbuka mengungkapkan ketidak puasannya mengenai keadaan
dalam tubuh tentara. Sebagai salah satu dari perwira didikan Jepang yang
memiliki jabatan pada masa Revolusi, ia mengecam keras kebijakan baru militer
yang digariskan oleh menteri pertahanan, Sultan Hamengku Buwono IX dari
Yogyakarta, ia mendakwa bahwa semngat revolusi 1945 dari tubuh militer sudah
lenyap, bahwa korupsi dan salah urus meruyak kemana – mana. Bahwa Partai
Sosialis Indonesia (PSI) Sultan Syahrir memperoleh keuntungan politik dan
keuangan berkat hubungannya dengan para pemimpin Angkatan Darat. Selain itu dia
Bambang Supeno juga melontarkan kritik terhadap sekolah Tjandradimuka yang
dipimpinnya menggunakan semangat militer gaya Jepang yang menekankan misi
ideologis dan politis tentara. [5]
Hal ini menyebabkan banyak kritikan balik yang masuk dari luar kepada bambang
Supeno.
Bambang
Supeno mengadukan persoalan ini kepada Presiden[6]
Bambang Supeno ditegur dalam sebuah rapat para perwira tinggi, pada 12 Juli.
Menyebut rapat ini merupakan pengadilan, karena ia menyatakan kasus ini diluar
kewenangan para atasannya. Hingga akhirnya ia di copot dari jabatannya.
Tak
sepekan kemudian, menurut koran Jakarta merdeka,
masalah ini dibahas dalam kabinet. Dilaporkan bahwa Sultan mau mengemban
seluruh tanggung jawab dari tindakan kementeriannya, tetapi ia tidak menerima
campur tangan dari Presiden. Konflik antara Hamengkubuwono dan Presiden
Soekarno meluas di koran – koran mengenai bambang Supeno. Namun Hamengku Buwono
menyatakn tidak ada konflik apa – apa antara dirinya dan preside Soekarno. Tampaknya
berita ini menyebar juga di Surat Kabar Keng Po mengingatkan perbedaan pendapat
yang sudah berlangsung lama antar Presiden Soekarno dengan Hatta mengenai watak
Angkatan Bersenjata Indonesia.[7]
Dinyatakan bahwa Petinggi militer RI Hatta menginginkan jumlah tentara yang lebih
kecil namun efektif dan profesional tanpa memikirkan perasaan beas para pejuang
revolusi[8].
Sedangkan Soekarno berisikeras memertahankan militer yang revolusioner dan
ideologis.
Di
luar TNI AD dua orang anggota parlemen , yaitu babasa Daeng Lalo dan Rondonuwu,
telah mengirimkan surat kepada pemerintah yang mencela kebijakan kolonel gatot
Subroto, Panglima Tentara teritorium VII/Indonesia Timur, dlam melaksanakan
pemulihan keamanan di Sulawesi Selatan. Surat ini menimbulkan kegemparan
diantara parlemen.[9]
Surat
Bambang Supeno di tanggapi kontan dan eksplosif oleh parlemen. Mula – mula itu
dibahas dalam seksi pertahanan, kemudian dibawa dalam sidang Pleno pada
28,29,dan 30 Juli. Hingga di paparkan alam sidang terbuka 23 September 1952.
Surat tersebut sangat menrik karena menyangkut Isu reorganisasi Angkatan Darat
dengan pengurangan bertahap personilnya. Isu besar kedua adalah yurisdikasi Parlemen – Angkatan. Komposisi
politik Seksi Pertahanan juga turut menyebabkan cepatnya perkembangan krisis di
tubuh Angkatan Darat.
Kasus
Bambang Supeno merupakan amunisi yang alamiah bagi perang partai. Hal ini dapat
dilihat dalam parlemen yang berdebat dan menghasilkan :
a. Mosi
tidak percaya Bahruddin terhadap menteri pertahanan, menurut reorganisasi di
jajaranpimpinan Angkatan Berseb=njata dan Penarikan Misi Militer Belanda
b. Mosi
manai Shopian (PNI) , untuk membentu sebuah Komisi Nasional negara guna
menyelidiki Angkatan Bersenjata dan menyarankan perubahan – perubahan alam
kepemimpinan mereka, dan juga menyerukan misi Militer Belanda
c. Mosi
Kasimo – Natsir ( Parkindo Masyumi) meminta pembentukan komisi penyelidik ,
tapi tak apriori menyimpulkan bahwa tubuh Angkatan Bersenjata perlu mengalami
perubahan.
Mosi
Baharuddin ditolak , sementara mosi Kasimo dianggap lemah, dan mosi Shopia
dipertahankan setelah memnangkan 91suara melawan 54 suara yang tak menyetujui.[10]
B
Peristiwa
17 Oktober 1952
Pagi
sekali pada tanggal 17 Oktober 1952, kerumunan hampir 10.000 orang
berdemonstrasi di dalam dan di sekitar gedung parlemen di Jakarta. Mereka
merusak dan dan berdesakan hingga sampai di Istana presiden. Demonstran bergerak menuju gedung DPR di jalan
Wahidin I dan kemudian menujuke Istana merdeka.
Untuk
menghadapi perkembangan DPRS yang dapat mengganggu stabilitas nasional,
pimpinan AD berdasarakan hasil konsesus dengan para panglima teritorium pada
tanggal 16 dan 17 Oktober 1952 mengeluarkan pernyataan pimpinan AD. Butir
kelima dari pernyataan yang terdiri dari tujuh butir keputusan itu mengemukakan
kekhawatiran akan terjadinya instabilitas. Oleh karena itu pimpinan Angkatan
perang mendesak kepala negara untuk membubarkan DPR(S) dan membentuk DPR baru.
Pernyataan itu ditandatangani oleh KSAD , para panglima teritorium , asiten –
asisten KSAD serta inspektur – inspeltur kesenjataan / jawatan sebanyak 16
orang perwira menengah. Penyampaian surat pernyataan tersebut kepada presiden
dipercayakan kepada wakil KSAD Letkol Sutoko yang juga dipercaya bertindak
sebagai juru bicara. Karena malam sebelumnya Presiden sudah diberitahu lewat
kolonel drg. Mustopo, ia merasa tidak begitu terkejut. Presiden menolak desakan
itu dan berkata akan menyelidiki lebih dahulu keinginan rakyat di Luar Jakarta
dan akan mendesak pemerintah agar mempercepat pemilihan umum[11]
Di
tahun 1952 mereka memutuskan untuk menyelesaikan persoalan ini dengan mengarahkan
meriam kepadku. Angkatan bersenjata kami tidak diciptakan oleh negara,
melainkan muncul secara spontan dari akar rumput , dari rakyat dan untuk
rakyat. Empat kendaraan berlapis baja dan ribuan orang menyerbu memasuki pintu
gerbang istana mereka membawa spanduk “Bubarkan Parlemen” Satu batalyon menderu
masuk ke Istana deriam diarahkan pada Soekarno. Tindakan ini tidak bisa
dikatakan bijaksana karena panglima yang memimpin gerakan itu berada bersamaku
di dalam istana.[12]Nasut
Sementara
tentara bersiaga di seputar massa, presiden Soekarno menyampaikan sebuah pidato
cemerlang dengan gayanya yang membakar. Ia menyatakan bahwa ia tidak dapat
membubarkan parlemen , dan bahwa dia tidak punya niat untuk menjadi seorang
diktator. Ia mengingatkan massa bahwa mereka hanyalah sebuah segmen kecil dari
sebuah penduduk di sebuah kota di Indonesia. Ia harus mempertimbangkan pendapat
rakyat di kawasan – kawasan lain.[13]
Nasution langsung melanjutkan maksudnya kepada Presiden Soekarno.
Setelah
merasa jalan damai dengan diplomasi macet, Hassan Basry yang berusaha
mendengarkan tuntutan pemberontak pu hilang kesabaran, hingga jalan militerpun
di tempuh. Pembersihan terhadap kaum gerilyawan pun dilakukan. Jam malam
diberlakukan dari pukul 20.00 malam hingga 05.00 subuh. Kurun waktu 10 hingga
17 oktober, sebanya 163 gerilyawan menyerah, dimana , 13 ingin menjadi pegawai
negeri sipil, 30 orang ingin menjadi polisi dan 130 orang ingin masuk militer
namun hanya 10 orang saja yang memenuhi syarat. [14] Pertemuan
antara lebih dari lima orang di larang, dua koran dan satu majalah di larang
terbit, dan enam politisi di temukan di tahan. Media massa dan enam politisi
itu merupakan penentang gigih menteri Pertahanan selam berlangsungnya
perdebatan di parlemen.[15]
Suasana Jakarta terasa tegang dan beredar gosip telah terjadi percobaan kudeta
yang gagal oleh jajaran atas Angkatan Bersenjata.
Sokarno
memecat Nasution dari jabatannya, namun karena Soekarno tidak ingin menimbulkan
perpecahan dengan Angkatan Darat maka Nasution diangkat kembali.
Rasanya
masuk akal disimpulkan bahwa, sebelum dan sesudah pengajuan mosi mengenai
Shopiaan, Kolonel Nasution dan sekelompok perwira bersimpati sebagian dari
mereka adalah para komandan regional – mengambil sikap berlebihan dan mengada –
adatentang apa yang mereka anggap kepentingan nasional dan kepentingan mereka
sendiri. Mereka memanfaatkan kepentingan yang diajukan oleh demnstran itu untuk
mengajukan permintaan kepada Soekarno agar mengambil alih tanggung jawab.
Walaupun akhirnya Soekarno menolak permintaan pembubaran parlemen.[16]
C
Pasca
17 Oktober 1952
Setelah
peristiwa 17 Oktober 1952 di tiga dari delapan komando wilayah militer
menurunkan perwira – perwira atasan mereka dan merebut kekuasaan (a) Jawa
Timur, letkol Suwondo kembali ke Kodan Brawijaya dan kemudian di tangkap oleh
bawahannya Letkol Sudirman. (b) Makassar , kolonel Gatot Subroto komando
militer wilayah VII di bebas tugaskan oleh kepala stafnya. (c)Sumatera Selatan,
Letkol Kosasih diturunkan oleh bawahannya.[17]
Mereka semua dianggap telah melakukan pemberontakan terhadap negara sendiri
dengan adanya keinginan membubarkan pemerintahan.
Agar
perpecahan di Angkatan Darat dapat diselesaikan , maka dilaksanakanlah
musyawarah antara golongan pro 17 Oktober dengan golongan anti 17 Oktober.
Pertemuan yang dihadiri oleh 29 orang perwira senior Angkatan Darat diadakan di
Yogyakarta dari tanggal 21 sampai 25 Februari 1955. Pertemuan yang disebut Rapar Collegial (Raco) ini membahas tiga
masalah pokok, yaitu[18] :
a.
Keutuhan dan persatuan Angkatan Darat
b.
Penyelesaian peristiwa 17 Oktober 1952
c.
Pembangunan Angkatan Darat
Dalam pertemuan tersebut menghasilkan
Piagam Ketuhanan Angkatan Darat Republik Indonesia yang juga disebut Piaagam
Yogyakarta. Dengan adanya penandatanganan piagam tersebut oleh 29 Perwira Senior
Angkatan Darat, maka Peristiwa 17 Oktober 1952 dianggap sudah selesai. Namun
pelaksanaan piagam tersebut tidak dapat berjalan dengan baik karena setelah
berakhirnya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, KSAD Kolonel Bambang
Sugeng meletakkan jabatannya karena merasa tidak mampu melaksanakan isi Piagam
Yogyakarta.
Pada
tangal 22 November, sebuah pernyataan pemerintah menjanjikan suatu pemecahan
“integral” atas semua masalah yang berkaitan dengan peristiwa 17 Oktober 1952.
Langkah pertama dari solusi ini di lakukan pada 5 Desember 1952 ketika kolonel
Nasution di pecat karena melanggal batasan – batasannya sebagai staf Angkatan
Darat.[19]
Hal ini akan memberikan kepuasan bagi
salah satu partai tertentu yang memang oposisi dengan Nasution dan Sultan
Hamengku Buwono. Dan hal ini masih sangat memungkinkan untuk terjadinya krisis
kabinet.
Pemerintah
kemudian memutuskanuntuk mengangkat kolonel Bambang Utoyo, Panglima tentara dan
teritorial II/Sriwijaya sebagai KSAD. Pengangkatan ini menimbulkan respon dari
Wakil KSAD kolonel Zulkifli Lubis dan kalangan Angkatan Darat sendiri. Bahkan
upacara pelantikan KSAD pada tanggal 27 Juni 1955 diboikot. Adanya kekacaua ini
mengakibatkan Ketua Seksi Pertahanan dalam Parlemen, Zaenal Baharrudin, dengn
dukungan B.M Diah, Margono Djojohadikusumo, Mr. T.M Hassan, dan menteri
Pertahanan Iwa Kusumasumantri mengundurkan diri dari jabatannya, Hal ini
membuat pemerintah Indonesia menjadi kacau kembali. Dan menyebabkan faktor
hancurnya kabinet yang sedang berjalan, yaitu kabinet Wilopo.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dinamika hubungan antara sipil dan militer pada masa
Demokrasi Liberal (1950 – 1959) sangat menarik untuk dipelajari. Militersebagai
orang yang memilikikedudukan penting bagi negara, sebagai garda pertahanan
negara atas ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Namun pda masa Demokrasi
Liberal keberadaan militer kurang mendapat perhatian sipil bahkan berdah
dibawah dan menimbulkan gesekan diantara keduanya.
Pada masa kabinet Natsir hubungan sipil dan militer
berjalan dengan baik, namun pada tahun 1952 muncul pertikaian pandangan antara
sipil dan militer pada masa kabinet Wilopo dengan meletusnya peristiwa 17
Oktober 1952.[20]
Dampak dari peristiwa tesebut adalah terbaginaya militer kedalam dua golongan,
yaitu antara golongan yang pro 17 Oktober dengan yang anti 17 Oktober. Punca
peristiwa 17 Oktober sebagai aksi protes kekecewaan militer terhadap parlemen.
Dan karena peristiwa tersebut melaatarbelakangi jatuhnya kabinet Wilopo yang di
gantikan dengan kabinet Ali Sastroamijojo dengan perdana menterinya Iwa
Kusumantri yang menyebabkan keretakan dalam tubuh militer semakin besar.
b.
Saran
Dalam penulisan makalah ini masih banyak sekalimkekurangan,
kkarena sumber yang terbatas dan minimnya buku yang dimiliki oleh penulis.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan bisa digunakan referensi dalam
pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Compton, Boyd R. 1992. Kemelut Demokrasi Liberal. Jakarta:
LP3ES
Cindy Adams. 2007. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Yayasan
Bung Karno
Marwari Djoened Poesponegoro, dkk. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta:
Balai Pustaka
Nasution,
A.H. 1972. Tentang Peristiwa 17 Oktober
1952. Jakarta: Sinar Harapan
Petrik
Matanasi. 2011. Sejarah Tentara. Jakarta:
Narasi
Ginanjar. Dkk. 1986. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT
Citra Lamtoro Cung Perada
Yahya A. Muhaimin. 2007. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945 – 1966. Jogja
: Ombak
Internet
https://www.academia.edu/9445682/Paper_Sejarah_Militer_Indonesia_Peristiwa_17_Oktober_1952 diakses tanggal 10/10/26
Daftar
Gambar
[1] Boyd R. Compton, Kemelut
Demokrasi Liberal (Jakarta: LP3ES, 1992), hlm.xiii
[2] http://s-kisah.blogspot.co.id/2012/04/jenderal-ah-nasution-dan-peristiwa-17.html diakses tanggal 10/10/16
[3] A. H Nasution, Tentang Peristiwa 17 Oktober 1952, Sinar
Harapan, 9 November 1972
[4] Marwari Djoened
Poesponegoro, dkk. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid VI (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 338
[6] Boyd R. Compton, op. cit., hlm.4
[7] Boyd R. Compton, op. cit., hlm.6
[8] Petrik Matanasi, Sejarah Tentara (Jakarta: Narasi, 2011),
hlm.172
[9] Ginanjar. Dkk, 30 Tahun Indonesia Merdeka, (Jakarta: PT
Citra Lamtoro Cung Perada, 1986), hlm 68-69
[10] Yahya A.
Muhaimin, Perkembangan Militer dalam
Politik di Indonesia 1945 – 1966, hlm. 77
[11] Marwari Djoened Poesponegoro, op.
cit., hlm. 340
[12] Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Bung Karno,2007), hlm. 321-322
[13] Boyd R. Compton, op. cit., hlm.11
[14] Petrik Matanasi., op., cit.,
hlm.176
[15] Boyd R. Compton, op. cit .,hlm.12
[16] Boyd R. Compton, op. cit.,
hlm.15
[17] Boyd R. Compton, op. cit., hlm.17-18
[18] Marwari Djoened Poesponegoro, op.
cit., hlm. 342
[19] Boyd R. Compton, op. cit.,
hlm.19
[20] https://www.academia.edu/9445682/Paper_Sejarah_Militer_Indonesia_Peristiwa_17_Oktober_1952 diakses tanggal 10/10/26
Komentar
Posting Komentar