Sejarah kelurahan Sumurboto


Kelurahan Sumurboto merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Banyumanik, kota Semarang. Di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Srondol Kulon, sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Ngesrep, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Srondol Wetan dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Pedalangan.
Sebelum era Reformasi, sekitar tahun 1800an nama kelurahan ini bukan Sumurboto. Wilayahnya pun tidak seperti sekarang ini. Wilayahnya meliputi tiga bagian yang tidak bertuan, yaitu Gumuk, Pedukuhan dan Kelurahan. Daerah Gumuk sekarang ini meliputi kawasan Bukit Agung, Bukit Sari hingga Pom bensin di daerah Gombel. Pedukuhan sendiri meliputi daerah Sumurboto sampai jalan tol dan Kelurahan meliputi daerah Ngesrep. Wilayah Ngesrep saat itu tidak sama seperti wilayah Ngesrep sekarang, terjadi sedikit pergeseran. Wilayah Ngesrep cukup luas hingga daerah Kaligarang bahkan Banaran.
Dari ketiga wilayah yang sudah di kuasai oleh Belanda adalah daerah Ngesrep, karena memiliki jalan raya penghubung Semarang-Salatiga, Semarang-Solo. Dan wilayah Ngesrep ini juga di sebut wilayah bagian Kademangan. Sekitar tahun 1825 baru ada kelurahan dan dipimpin lurah pertama yang merupakan bentukan pemerintahan Belanda.
Mbah Geger dan Baris merupakan salah satu keturunan Kesultanan Yogyakarta yang ikut berjuang hingga mendapatkan hadiah daerah perdikan di kawasan Pedukuhan, yang sekarang disebut Sumurboto. Tahun 1850an mbah Geger menjabat sebagai bekel, dibawah lurah. Daerah Bekel ini diberi otonomi sendiri untuk mengatur wilayahnya.
Tahun 1870an penduduk sekitar belum mengenal batu bata, karena hanya dimiliki oleh Pemerintahan Belanda. Di daerah Sumurboto Ngesrep ini yang memiliki batu bata hanya ada di tangsi militer yang sekarang berada di Jalan Kesatrian. Keberanian dan hubungan yang baik antara mbah Geger dengan kademangan, memperbolehkan mbah Geger membawa batu bata untuk di pasang di daerah Padukuhannya. Mbah geger menata sumber air yang diiliki dengan batu bata yang dibawanya tanpa semen. Hal ini membuat penduduk yang melihat heran. Karena sebelumnya belum pernah ada benda berbentuk batu bata yang bagus dan dapat tersusun rapi di sekitar sumber air.
Daerah pedukuhan ini semakin terkenal denganadanya sumber air yang disusun dengan batu bata. Banyak orang yang melewati dan singgah sejenak untuk menikmati sumber air tersebut. Sehingga lama- kelamaan daerah pedukuhan ini lebih sering dikenal dengan sebutan Sumurboto daripada pedukuhan itu sendiri.
Tempat kelurahan yang pertama ada di dekat patung kuda, yang sekarang menjadi ruko-ruko dan warung nasi padang. Dengan alun-alun yang sekarang menjadi daerah LDI. Di daerah patung kuda menjadi titik central peradaban masa itu, karena berada di tengah.  Baru sekitar tahun 1975 terjadi pemindahan seperti di tempat sekarang ini.
Setelah tahun 1999, terjadi pemecahan wilayah. Yang awalnya Sumurboto merupakan Pedukuhan menjadi Kelurahan. Kemudian kelurahan Ngesrep bergeser wilayahnya sampai Jatingaleh. Semenjak tahun 1999 itulah berdiri kelurahan baru Sumurboto yang kawasannya seperti sekarang ini. Termasuk wilayah di kelurahan Banyumanik yang paling sempit.
Mbah geger dan Baris merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh di kelurahan Sumurboto. Dan sekarang sudah sampai di keturunan ke empat, yaitu pak Hermanto yang sekarang menjabat menjadi ketua RW III. Sayangnya tidak ada sisa sumur yang terbuat dari batu bata yang dapat dilihat sekarang ini. Dikareanakan daerah yang dulunya Sumurboto sudah di ratakan dengan tanah dan berubah menjadi jalan Tol.

Data ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Hermanto, Pemangku Adat sekaliagus ketua Rw III kelurahan sumurboto, kec. Banyumanik Kota Sema

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKEMBANGAN JALUR-JALUR KERETA API DI KOTA SEMARANG SEJAK TAHUN 1867-1955

HUJAN dan SECANGKIR CAPPUCINO